
Perjuangan buruh di Indonesia dewasa ini makin disorot, kekuatan buruh dianggap semakin besar dan bisa berpengaruh banyak secara politis. Namun masih ingatkah kita akan srikandi buruh indonesia bernama marsinah? padahal marsinah merupakan pejuang buruh di Indonesia yang tegak berani menuntut kebenaran di masa orde baru, masa dimana berkata kritis berarti penjara.
Marsinah, lahir tanggal 10 April 1969, adalah seorang gadis yang berasal dari kalangan buruh tani dan bertempat tinggal di Desa Nglundo, Sukomoro. Ia diasuh oleh neneknya sejak berusia tiga tahun. Ia menempuh pendidikan dasar di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang, yang kemudian dilanjutkannya ke SMPN 5 Nganjuk. Pendidikan SMAnya ditempuh di SMA Muhammadiyah, yang membuatnya dikenal sebagai murid yang cerdas serta memiliki semangat belajar tinggi dan selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas.
Sempitnya lahan pertanian di desanya serta kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi membuatnya terpaksa harus pergi meninggalkan desa menuju kota untuk menjadi seorang buruh. Ia kemudian mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik arloji, PT Empat Putra Surya, Rungkut Industri, sebelum akhirnya dipindahkan oleh perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Serpong, Sidoarjo.
Selain bekerja sebagai buruh pabrik, Marsinah juga mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Ia juga gemar mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Untuk menambah penghasilan, ia membuat kliping koran di waktu luang, meskipun hasilnya pas-pasan untuk menutup biaya hidup. Marsinah merupakan sosok yang memiliki solidaritas tinggi. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Ketika salah satu kawannya sakit, ia selalu menyempatkan diri menjenguknya. Selain itu, Marsinah juga seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh atasan. Oleh karena sifatnya itu, ia dikenal sebagai seorang pemberani.
Sejarah Perjuangan marsinah
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT Catur Putra Surya (CPS) dilanda keresahan akan kabar yang beredar mengenai kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat tersebut termuat himbauan kepada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari gaji pokok, namun pihak perusahaan belum memberikan kenaikan upah tersebut.
Pada tanggal 3 Mei 1993, seluruh buruh PT CPS tidak masuk kerja, kecuali para staf dan kepala bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-temannya untuk meliburkan diri. Sehari setelahnya, yaitu pada tanggal 4 Mei 1993, tepat pada pukul 07.00 WIB, para buruh PT CPS tersebut melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan, termasuk tunjangan upah, tunjangan dan pembubbaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Aparat dari Koramil serta kepolisian telah bersiap siaga di perusahaan ketika aksi tersebut berlangsung. Para satpam pabrik mengibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk yang dibawa oleh pengunjuk rasa sembari meneriakkan tuduhan PKI terhadap para pengunjuk rasa. Tampak Marsinah bersemangat dalam menyeruakkan tuntutan dalam aksi unjuk rasa ini. Ialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan, khususnya mengenai tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2250, 00 per hari, sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Perundingan tersebut pun akhirnya memperoleh kesepakatan bersama.
Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan tersebut diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Mereka diduga melakukan rapat gelap serta penghasutan yang akhirnya membuat tentara mendesak 13 buruh tersebut untuk mennandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK yang diberikan karena adanya tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian, menyusul 8 buruh di PHK di tempat yang sama. Tak elak lagi, penggunaan senjata pun ikut dilibatkan dalam aksi ini. Marsinah yang mengetahui hal tersebut terjadi pada kawan-kawannya, kemudian pergi meraih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Sejka kejadian perginya Marsinah, ia tak pernah menampakkan dirinya lagi. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Marsinah juga tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja.
Marsinah Berkalang tanah sebagai pahlawan
Tiga hari kemudian, tanggal 8 Mei 1993, sesosok mayat ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, tepatnya di Dusun Jagong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk dalam posisi melintang. Mayat tersebut ialah mayat Marsinah. Tubuhnya dipenuhi luka memar bekas pukulan benda keras dan dalam keadaan mengenaskan. Tulang panggul dan lehernya hancur. Penemuan mayat Marsinah ini sekaligus diperingati sebagai Hari Marsinah.
Kematian Marsinah menyedot banyak perhatian publik, bahkan ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hiem pada tahun yang sama. Kemudian pada tanggal 30 September 1993, pemerintah Jawa Timur membentuk tim penyidik guna menyelidiki kasus kematian Marsinah. Sepuluh orang ditetapkan sebagai tersangka, dan salah satunya adalah anggota TNI. Mereka diadili hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung, namun kemudian divonis tidak bersalah dan dibebaskan.
Kejadian tewasnya Marsinah dengan berbagai kejanggalan inilah yang akan menjadi saksi akan ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh pejuang. Seorang buruh perempuan yang tanpa ragu rela kehilangan nyawa demi keyakinannya akan kebenaran.
Comments are closed.