
Revolusi mental yang diprakarsasi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) hingga setahun pemerintahan mereka belum lah tampak. Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, banyak yang telah bersuara mengenai revolusi mental, namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Revolusi mental terus digembar-gemborkan, namun tidak muncul secara gamblang dalam kehidupan sehari-hari.
“Sampai sekarang kita masih bingung, revolusi mental itu bagaimana. Tidak bisa dijelaskan, diuraikan secara komperehensif, apalagi turun kepada praktis. Dia pun berakhir hanya sebagai slogan, selesai dengan kata-kata,” ujarnya.
Adapun revolusi mental di bidang hukum yang dinilai belum maksimal, utamanya pelaksanaan di setiap daerah.
Andi Panggabean selaku Pemerhati Hukum dan Pemerintahan menyebutkan, “petinggi aparatur penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Penanganan kasus hukum, khususnya pemberantasan korupsi, terkesan timbul tenggelam. Menurutnya, lemahnya penanganan kasus pemberantasan korupsi oleh aparatur penegakan hukum, disebabkan adanya sikap “toleransi” pimpinan penegak. Kondisi ini yang membuat masyarakat masih pesimistis terhadap penegakan hukum.
Andi berujar toleransi pimpinan penegakan hukum masih tinggi terhadap koruptor karena penetapan tersangka atas kasus korupsi, yang tidak disertai dengan penahanan. Anehnya, tersangka masih merasakan udara segar sampai sebelum sidang putusan di pengadilan.
“Selain itu, masih ada pimpinan aparat yang ingin dilayani dan tidak merakyat. Padahal, Jokowi dan JK, maupun sebagian menterinya dikenal sangat merakyat. selebihnya, hanya bekerja di belakang meja dan tidak melihat kondisi riil di daerah,” tambah Andi.
Andi berpendapat bahwa seharusnya hal yang telah dilakukan Jokowi dan JK sudah dapat diakomodasi di setiap daerah. “Persoalan yang terjadi, revolusi mental hanya lips service semata. Rakyat membutuhkan bukti dari program Jokowi untuk melaksanakan revolusi mental,” imbuhnya.
Comments are closed.