Sejauh Mana Kematian Demokrasi dalam Revisi UU MD3?

0
181
Revisi UU MD3
Revisi UU MD3 banyak dikritik masyarakat sebagai sebuah kematian demokrasi di Indonesia (Ilustrasi: Radar Metro)
obat kuat,libion,libiceng,phuceng,madu stamina,madu phuceng,sehatshop,stamina pria,madu,jahe merah,purwoceng

Kabarnesia.com – Bagi sebagian masyarakat yang mengerti seluk beluk hukum, akan merasa bahwa dengan Jokowi menolak menandatangani UU MD3 adalah sebuah keputusan yang bijak.

Jokowi mengaku dirinya tidak menandatangani karena menangkap keresahan masyarakat terkait adanya sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto menilai bahwa langkah Presiden Jokowi yang tidak akan meneken UU MD3 yang baru berkaitan dengan pertimbangan politik untuk Pemilu 2019. Karena itu, Jokowi mengambil keputusan sebagaimana suara publik yang menentang UU MD3 tersebut.

Tapi, bagaimana dengan masyarakat awam yang tidak mengetahui tentang UU MD3? Pastinya akan berpikir bahwa ini adalah skenario politik yang nantinya akan merugikan negara.

Sebenarnya apa isi UU MD3 hingga Jokowi sebagai orang nomor satu Indonesia tidak mau menandatangi revisi Undang-Undang tersebut?

Revisi UU MD3

UU MD3 adalah Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Undang-undang ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD. Hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas juga diatur.

UU ini terdiri atas 428 pasal, dan disahkan pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari 2018.

Intinya, Undang-undang ini adalah dasar berdemokrasi dan prinsip keterwakilan rakyat di DPR RI. Tapi, UU tersebut dinilai masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum.

Dengan sistem yang diatur dalam Revisi UU MD3 ini, suara rakyat menjadi tidak berpengaruh dalam keterwakilan dalam komposisi kepemimpinan DPR hingga ke level AKD yang sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR RI.

Jokowi pun mempersilahkan masyarakat untuk melakukan uji materi UU MD3 ke MK. Ia juga mengatakan dan sempat mempertimbangkan tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan sejumlah pasal kontroversial di UU MD3.

Ia juga mengakui situasi di DPR saat penerbitan beberapa pasal banyak yang menjadi perdebatan di masyarakat saat ini.

BACA JUGA:

Beberapa pasal yang menjadi kontroversi

Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa, sebelum direvisi pasal ini menyatakan bahwa polisi membantu memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa Polisi wajib memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa.

Pasal 122 soal kewenangan MKD bisa memanggil pihak yang mengkritik DPR, dinilai kontroversi karena DPR menjadi antikritik dan kebal hukum. Para pakar menyebutnya sebagai ketidakadilan dalam berdemokrasi, di mana masyarakat tidak bisa lagi menyuarakan kritik mereka terhadap pemerintah.

Dan pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan, yaitu pasal mengenai pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana harus ada pertimbangan MKD sebelum DPR memberi izin. Padahal sebelumnya, pada tahun 2015 MK sudah memutuskan bahwa pemeriksaan harus dengan seizin presiden, bukan lagi MKD.

Kerugian masyarakat atas revisi UUMD3

Sebuah petisi online yang menolak revisi UU MD3, DPR tidak boleh mempidanakan kritik ditandatangani oleh 203 ribu orang, dan petisi yang menolak revisi RUU MD3 serta mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi ditandatangani 78 ribu pendukung.

Tapi tetap saja, petisi sebanyak itu pun tidak akan membuat para dewan bergeming dan mengalah.

Bahkan saat tidak ada revisi UU MD3 pun, masyarakat sudah merasakan kegagalan dalam menyuarakan opini, kritik dan saran mereka.

Jika memang UU MD3 terlaksana dan bisa berjalan, maka kesempatan untuk masyarakat berdemokrasi tidak akan ada lagi.

Baca juga artikel menarik lainnya terkait Kabar Hukum atau informasi terkini lain di Kabarnesia.

 

Comments

comments