
Kabarnesia.com – Menghadapi dunia digital dan persaingan antar kepemilikan media di Indonesia, membuat para regulator, baik pemerintah eksekutif dan legislator, membuat perancangan revisi UU Penyiaran No 32/2002 tersebut. Setelah lama menanti waktu hasil keputusan legislatif dalam menanggapi revisi UU tersebut, akhirnya draft revisi UU Penyiaran dikeluarkan pada Desember 2016.
Laporan Remotivi mengatakan, draft yang diberikan legislatif justru mengalami kekhawatiran dengan menghilangkan watak demokratis yang terkandung dalam UU Penyiaran No 32/2002 tersebut semakin tak lebih baik.
Komisi 1 DPR yang menerbitkan draft revisi UU Penyiaran tersebut nyatanya malah membuat keberpihakan terhadap kepemilikan media terpusat. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan apabila migrasi frekuensi digital sudah dilakukan Kominfo, sebagaimana dikutip dari Kompas, Sabtu (31/3).
Beberapa konten isi draft yang dianggap kontroversial antara lain:
- Lembaga penyiaran khusus. Dalam draft revisi UU Penyiaran No 32/2002 tersebut menyatakan bahwa lembaga penyiaran khusus adalah “lembaga penyiaran nonkomersial yang dimiliki dan didirikan oleh lembaga negara, kementerian, partai politik, atau pemerintah daerah”. Pencatutan partai politik sebagai lembaga penyiaran khusus tentu akan menjadikan hak konsumen menghilang. Hal itu disebabkan akan banyaknya propaganda yang dilakukan partai politik jika memiliki lembaga penyiaran khusus.
- Isu Kepemilikan Media. Dalam regulasi UU Penyiaran No 32/2002 Pasal 18 ayat 2 sebelum dilakukan revisi, telah jelas bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.” Namun, dalam draft revisi teranyar dari Komisi 1 DPR, hal tersebut tidak dirincikan lebih lanjut, serta bagaimana cara pembatasan kepemilikan media. Hal ini seolah dikucilkan dari revisi, dan diabaikan. Padahal, jika dibiarkan, maka industri media akan goyang, sebab kekuatan besar kepemilikan media akan dikuasai beberapa grup media saja, dan akan terjadi monopoli industri media, yang nantinya bisa membunuh perusahaan media lokal, serta menjadikannya terpusat di Jakarta.
- Status KPI. Dalam regulasi UU Penyiaran No 32/2002 Pasal 8 ayat 2 dijelaskan bahwa, “Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, KPI mempunyai wewenang; a. Menetapkan standar program siaran; b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; e. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Isi dari regulasi lawas tersebut seharusnya bisa lebih diperkuat dengan status KPI yang menjalankan fungsi memberikan hak kenyamanan konsumen dan masyarakat dalam mengonsumsi konten media, namun nyatanya draft revisi UU Penyiaran yang baru melakukan pelemahan fungsi dan tugas KPI. Dalam draft tersebut, KPI hanya diberikan fungsi pengawasan terhadap lembaga penyiaran, bukan pemangku kebijakan dan mengatur lalu lintas konten media di Indonesia.
- Migrasi Spektrum Analog ke Digital. Poin ini adalah poin penting yang semestinya dipertegas secara langsung bagaimana pegawasana dan sistem yang digunakan untuk melakukan migrasi frekuensi analog ke digital. Digitalisasi ini sebelumnya belum ada dalam UU Penyiaran No 32/2002 yang lawas. Namun, faktanya justru draft tersebut hanya menyebutkan migrasi yang akan dilakukan hanya bersifat alamiah. Artinya, Komisi 1 DPR tidak menyiapkan konsep dan formula khusus demi menjaga sektor industri media jika nantinya dilakukan digitalisasi spektrum. Mereka akan membiarkan semua itu terjadi secara alamiah, sama halnya penggunaan teknologi saat ini dari ponsel analog ke ponsel pintar.
Bisa kita lihat, poin-poin yang keluar dari isi draft revisi UU Penyiaran No 32/2002 itu nyatanya menimbulkan banyak kontroversi yang mengindikasikan keberpihakan legislatif terhadap pengusaha media raksasa. Tidak hanya itu, dilansir dari laman Kompas, Direktur Remotivi Muhamad Haychael yang juga menjabat sebagai salah satu anggota Koalisi Nasioanl Reformasi Penyiaran (KNRP), mengatakan hal-hal kontroversial lain yang muncul dari draft revisi UU Penyiaran No 32/2002 yang dirinci Komisi 1 DPR, antara lain:
- Dalam Pasal 150, jumlah iklan per satu jam dalam jam siar dalam sebuah tayangan program, bisa mencapai 40 persen. Hal itu tentu menambah polemik, yang akan berujung komersialisasi yang miskin konten. Bisa kita hitung, jika awalnya hanya mencapai 20 persen per satu jam, sudah memakan waktu 12 menit commercial break. Bagaimana dengan 40 persen yang memakan waktu 24 menit untuk commercial break? Tentu akan memiskinkan konten dan menebalkan kantong pengusaha media yang tidak diikuti dengan gaji pegawai perusahaan.
- Dalam iklan tersebut, iklan rokok diizinkan untuk ditayangkan. Haychael tentu mempertanyakan keputusan tersebut, sebab itu bersifat kontradiktif di mana peraturan melarang penayangan iklan produk zat adiktif.
Berbeda jika kita membandingkan dengan regulasi negara lain, misalnya Amerika Serikat. Regulasi penyiaran di Amerika Serikat dilakukan oleh Komisi Komunikasi Federal (FCC), Legislatif, dan Mahkamah Agung, untuk memastikan adanya sistem check and balance dalam penyelenggaran dan pengawasan penyiaran.
Media penyiaran di Amerika juga harus mendapatkan lisensi dari FCC. FCC akan memberikan lisensi izin operasi kepada masing-masing media dalam jangka waktu 8 tahun. Pemberian izin lisensi itu dilakukan untuk memastikan lembaga penyiaran pemerintah atau swasta mampu memperhatikan dan memenuhi harapan, kenyamanan, dan kebutuhan masyarakat.
Ini mengindisikasikan Komisi Penyiaran di Amerika sangat berperan penting demi menjaga hak kebutuhan informasi dan kenyamanan masyarakat dalam mengonsumsi informasi dari media.
BACA JUGA:
- Sejauh Mana Kematian Demokrasi dalam Revisi UU MD3?
- Hari Perempuan, dan Kekerasan yang Semakin Meningkat
Peraturan Digitalisasi Mengambang
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menyoroti hal-hal yang masih mengambang dan kontroversi dari draft revisi UU Penyiaran No 32/2002. Dilansir dari Tempo, mereka mengatakan Komisi 1 DPR belum bisa memberikan pola yang tepat dalam menerapkan regulasi pengaturan penyiaran menggunakan pola multiplekser (mux) dalam digitalisasi media.
KNRP menyebutkan dalam rapat konsolidasi gabungan Badan Legislatif mengalami kebuntuan, dan beberapa fraksi partai mengundurkan diri dari hasil kesepakatan. Ketidaksepakatan itu mulai terjadi saat penetapan pola penerapan penataan migrasi penyiaran digitalisasi dalam hal pemilihan penyelenggaraan muliplekser (mux).
Aktivis KNRP mengatakan bahwa dalam draft revisi UU Penyiaran No 32/2002 menyatakan penerapan multiplekser tunggal, dan Lembaga Penyiaran Publik sebagai penyelenggaranya. Namun, ketika hendak diajukan kepada rapat pleno, tiba-tiba sejumlah anggota fraksi mengundurkan diri. Sehingga, penundaan keputusan terjadi.
Hal itu dikatakan KNRP sebagai upaya pelemahan sistem multiplekser tunggal, dan upaya keberpihakan terhadap pemilik media besar yang mempunyai dana besar, agar multiplekser tunggal tidak diterapkan. Multiplekser tunggal sendiri merupakan sistem penerapan digitalisasi frekuensi radio atau televisi yang dikelola langsung oleh pemerintah, alias tidak dimiliki perorangan atau swasta.
Padahal, sistem multiplekser tunggal sangat pas diterapkan mengingat penyelenggaraannya dan kepemilikan multiplekser menjadi terpusat dan hanya boleh dimiliki negara, bukan swasta. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya monopoli bisnis media pada sistem spektrum frekuensi digital. Jika kepemilikan multiplekser dimiliki swasta, maka yang terjadi adalah monopoli bisnis media semakin tak terkendali.
Perlu diketahui, jika menggunakan sistem multiplekser dalam digitalisasi media merupakan penerapan pola yang memberikan spektrum frekuensi untuk berbagai saluran frekuensi radio lebih efisien. Jika dalam sistem analog satu media satu frekuensi, maka dengan sistem mux, satu frekuensi bisa digunakan untuk berbagai media.
Terlebih lagi jika sistem multiplekser tunggal diterapkan. Maka, negara mempunyai wewenang mengambil alih semua kebijakan dalam kepemilikan mux yang dimiliki. Artinya, negara bisa mengakomodasi semua kepentingan, baik untuk penyiaran komersial juga penyiaran komunitas yang notabene non komersial. Hal itu akan sesuai dengan sistem kelola media yang sehat di Indonesia, dan akan menambah kaya konten penyiaran di Indonesia, khususnya bagi media lokal yang notabene tidak memiliki sumber daya keuangan yang melimpah untuk membeli frekuensi analog, dan kurangnya dana iklan yang masuk. Penyiaran Komunitas pun ikut terbantu, tanpa mencari laba dan menunjukkan identitas bangsa yang baik serta tanpa tujuan propaganda, Lembaga Penyiaran Komunitas akan sangat terbantu untuk memajukan konten yang baik di Indonesia.
Dengan demikian, konten yang menyiarkan pendidikan, kesehatan, dan khusus anak akan semakin banyak dan kaya., tanpa harus mengejar traffic atau rating penyiaran demi mendapatkan laba dari iklan yang masuk. Konten-konten budaya pun akan lebih terpublikasi dengan baik, jika pemerintah berhasil memutuskan menggunakan sistem multiplekser tunggal yang diselenggarakan secara langsung oleh negara. Hal itu tidak akan lagi membuat kecemburuan dan kesenjangan seosial antar daerah yang saat ini selalu disuguhi konten terpusat dari Jakarta.
Tidak hanya itu, dengan menerapkan sistem multiplekser tunggal atau terpusat maka akan cenderung mengurangi monopolistik bidang media. Hal itu ditengarai karena tidak ada lagi media yang memiliki sistem multiplekser untuk diperjualbelikan kepada media lain untuk membeli frekuensi digital yang mereka miliki. Sehingga, tingkat kecenderungan monopolistik dan konglomerasi media bisa dikurangi, bahkan dihentikan.
Baca juga artikel menarik lainnya terkait Kabar Hukum atau informasi terkini lain di Kabarnesia.
[…] Regulasi Penentu ‘Raja Bisnis’ Media Nusantara Di Era Digital […]
[…] Regulasi Penentu ‘Raja Bisnis’ Media Nusantara Di Era Digital […]
Comments are closed.