
Saat ini Indonesia telah siap menghadapi fluktuasi rupiah dibanding 10 tahun atau 20 tahun yang lalu.
Kabarnesia.com – Pada bulan April ini nilai tukar rupiah masih melemah terhadap nilai tukar dollar Amerika Serikat. Merosotnya nilai tukar rupiah ini disebabkan oleh faktor eksternal. Dengan naik turunnya nilai tukar rupiah akan berdampak bagi rakyat Indonesia dari segi pasar, ekspor maupun impor.
Hal ini juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Ia mengatakan, pemerintah tidak akan melakukan perubahan sama sekali terhadap APBN 2018, meskipun saat ini nilai tukar tengah anjlok, bahkan menyentuh angka Rp 13.922 per USD.
Seperti yang diketahui, APBN 2018 pemerintah yang ditetapkan mengikuti nilai tukar rupiah adalah sebesar Rp 13.300 per 1 USD. “Tidak ada sesuatu yang harus dilakukan pemerintah (perubahan nilai tukar di APBN), tidak harus panik sebaiknya,” kata Menko Darmin di Jakarta, Selasa (24/4).
Mantan Direktur Jendral Pajak tersebut belum berencana akan melakukan stabilitasi rupiah. Dia menegaskan, kewenangan yang dipegang adalah dari Bank Indonesia (BI). “Tidak perlu, kalau urusan seperti nilai tukar apalagi penyebabnya dari luar, BI maju d idepan bukan pemerintahan,” lanjutnya.
Sedangkan, dari pihak PT Bank Mandiri Tbk, telah menyarankan kepada pihak Bank Indonesia untuk mengganti suku bunga acuan BI 7DRR rate. Ini dilakukan supaya suku bunga acuan BI dengan bunga acuan The Fed Amerika Serikat dapat disesuaikan.
Direktur Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo angkat bicara, “Saat ini pasar melihat BI masih belum mengubah stance kebijakan moneternya. Hal ini diputuskan oleh BI dengan menahan suku bunga acuan pada rapat dewan gubernur (RDG) beberapa hari lalu. Adanya jarak antara kenaikan suku bunga The Fed dengan bunga acuan BI direspons negatif oleh pasar,” kata Kartika Wirjoatmodjo, Jakarta, Selasa (24/4).
Respons negatif yang dikeluhkan pasar adalah keluarnya investor asing dari bursa saham Indonesia, yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus melemah terhadap nilai tukar dollar Amerika Serikat. Menurut Direktur Bank Mandiri, seiring dengan kebijakan gubernur baru The Fed yang lebih agresif dalam memproyeksikan kenaikan suku bunga kedepannya, menyebabkan pelemahan nilai tukar mata uang di dunia. “Sebaiknya pihak Bank Indonesia menaikan suku bunga acuan dalam satu sampai tiga bulan kedepan,” ujarnya.
BACA JUGA:
- Potensi Ekonomi Indonesia Jika Ikut Trans-Pasific Partnership
- Alasan Indonesia Impor Garam yang Buat Petani Garam Geram
Dampak Positif Kurs Rupiah Melemah
Tiko, begitu ia sering disapa, mengatakan, saat ini Indonesia telah siap menghadapi fluktuasi rupiah dibanding 10 tahun atau 20 tahun yang lalu. Jika rupiah merosot terus menerus yang akan berdampak negatif adalah nasabahnya. Tetapi, dari kejadian ini ada juga yang merasakan dampak positifnya.
Seperti nasabah yang melakukan proses ekspor akan diuntungkan dengan pelemahan nilai rupiah terhadap dollar AS. “Karena nasabah-nasabah yang melalukan sistem ekspor seperti batu bara, kelapa sawit dan produk lainnya akan membeli dengan rupiah tetapi dibeli dengan menggunakan dollar AS, jadi beberapa pihak tertentu mengalami peningkatan profit karena dia menjual dengan proses ekspor,” tambahnya.
Sementara itu, dari pihak Bank Indonesia (BI) juga telah menghimbau, dalam kondisi seperti ini dan kedepannya, sebaiknya semua pihak mengedepankan pengelolaan resiko agar tidak terpapar resiko pasar, terutama yang memiliki valuta asing. Perbankan di Indonesia telah siap memfasilitasi transaksi hedging bagi nasabahnya.
Untuk transaksi lindung nilai dalam mengelola risiko kurs, sembilan bank besar sudah bisa menawarkan produk FX call spread option, dengan biaya yang efisien dan memperkenankan transaksi produk call spread option. Saat ini OJK sudah menerbitkan POJK 6 2018 yang merevisi kewajiban memelihara agunan kas 10% dari national transaksi.
“Risiko pasar yang dimaksud juga termasuk risiko suku bunga karena pihak Amerika Serikat sedang memasuki siklus suku bunga yang sedang naik dan sudah tertransformasi ke kenaikan yeld US Treasury note mendekati 3%,” kata Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia.
Kebutuhan valas membebani transaksi spot, yang secara langsung bisa mempengaruhi kurs. Dengan mempunyai nasabah yang masuk dalam hal transaksi lindung nilai, bank bisa lebih memiliki ruang untuk mengelola dan mempersiapkan ketersediaan likuiditas valas ke depan.
“Dengan demikian lindung nilai oleh dunia usaha yang terpapar terhadap kewajiban valas juga membantu negara dengan stabilitas kursnya dengan masuknya BUMN ke skema hedging tapi sebagian besar baru dapat memenuhi ketentuan kewajiban 25% dari net asset liabilities valas,” tambahan Nanang.
Baca juga artikel menarik lainnya terkait Kabar Ekonomi atau informasi terkini lain di Kabarnesia.