Menggugat Hari Pendidikan Nasional

1
347
Hardiknas
Desy Komalawati (Dok. Pribadi)
obat kuat,libion,libiceng,phuceng,madu stamina,madu phuceng,sehatshop,stamina pria,madu,jahe merah,purwoceng

Oleh:

Desy Komalawati

(Penulis Lepas, Lulusan Double Degree Indonesia-Filipina)

Hari Pendidikan Nasional semestinya bernama “Hari Ki Hajar Dewantara”.

Pendidikan merupakan bidak terpenting dalam kemajuan sebuah bangsa. Bidak yang menentukan dan sedang giatnya diupayakan oleh bangsa Indonesia yang menjadikan 2 Mei sebagai peringatan hari bangkitnya pendidikan nasional. Hari Pendidikan Nasional diperingati sebagai wujud penghormatan terhadap tokoh nasional “Ki Hajar Dewantara” yang merupakan pelopor pendidikan Indonesia melalui jasanya.

Pada hari ini, pidato–pidato digelar, harapan–harapan mengenai sistem pendidikan di Indonesia menggema baik dalam dunia maya maupun pada mimbar–mimbar upacara bendera.

Namun, gema dan antusias peringatan HARDIKNAS tidak terlalu terasa jika dibandingkan dengan karnaval-karnaval meriah yang biasa diselenggarakan ketika Hari Kartini diperingati 10 hari sebelumnya.

Bagi sebagian orang, ini adalah sebuah ketidakadilan yang memunculkan pertanyaan “Mengapa Hari Pendidikan tidak dinamai dengan Hari Ki Hajar Dewantara sebagaimana kita menamai hari kebangkitan perempuan Indonesia sebagai Hari Kartini, ketika keduanya sama-sama bergerak demi mengupayakan pendidikan bagi masyarakat Indonesia?” sehingga banyak orang beranggapan bahwa “Kartini” merupakan suguhan budaya yang terlalu banyak bumbu sehingga tak  lagi enak dinikmati.

Dalam banyak jasanya, Ki Hajar Dewantara mendirikan taman siswa pada 3 Juli 1922 dan juga beberapa gerakan yang salah satunya dikenal dengan Boedi Utomo sebagai bentuk protes nyatanya terhadap kebijakan kolonial Belanda, yang hanya mengijinkan kaum bangsawan untuk mengenyam pendidikan. Jasa-jasa yang menjadikannya dikenal sebagai pelopor pendidikan di Indonesia.

Lantas, apa yang telah dilakukan oleh tokoh emansipasi wanita Indonesia, Kartini ?

Kartini, wanita luar biasa asal Jepara yang terus berupaya memperjuangkan hak–hak perempuan dalam masyrakat modern yang kala itu sangatlah bertentangan dengan adat istiadat perempuan Jawa kebanyakan. Ia yang kemudian menyurati buah-buah pikiran majunya yang sebagian besar mengenai hak pendidikan bagi kaum perempuan kepada teman-teman Belandanya. Surat-surat yang kemudian menjadi buku fenomenal “Door Duisternis tot Licht”, kemudian disajikan dalam bahasa melayu dengan judul  “Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiranpada tahun 1922 oleh Balai Pustaka.

Sebagian kalangan menilai bahwa Kartini merupakan sosok wanita hebat yang hanya berusaha mendobrak budaya Jawa. Hal itulah yang menjadikannya tokoh gerakan emansipasi nasional dan kemudian dianugerahi hari peringatan dengan namanya merupakan sesuatu yang dilebih–lebihkan.

Pemikiran ini mucul berdasarkan beberapa alasan objektif yang diantaranya adalah kenyataan bahwa wanita Aceh “Cut Nyak Dien” yang lahir 31 tahun sebelum Kartini, telah ikut angkat senjata bersama suaminya sebagai gerilyawan wanita yang juga turut membuka kelas-kelas untuk mengajari wanita Aceh soal agama Islam, literasi (baca tulis) dan juga bahkan cara mengangkat senjata.

Wanita Sunda “Dewi sartika” juga sudah mendirikan “Sekolah Istri” yang merupakan sekolah perempuan pertama jauh sebelum seluruh pemikiran–pemikiran Kartini diilhami banyak orang.

Mereka juga merupakan tokoh nasional, tetapi jasanya seperti tidak dihargai sebanyak penghargaan atas jasa–jasa ibu Kartini yang buah pemikiran dalam korespondensinya bersama teman-teman Belandanya pun tak dibukukannya sendiri. Buku yang kemudian menjadi ilham bagi banyak orang, terutama bagi wanita Indonesia itu dikumpulkan dan dibukukan oleh  J.H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri kebudayaan, agama dan kerajinan Hindia Belanda.

BACA JUGA:

Kumpulan surat yang sebelumnya tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebagai isi curhatan Kartini kepada teman-teman korespondensinya, buku yang kemudian menjadikannya tokoh gerakan emansipasi perempuan Indonesia yang nyatanya di berbagai daerah Indonesia saat itu sudah banyak melakukan hal–hal yang dilakukan oleh kaum pria kebanyakan.

Lalu, mengapa itu menjadi begitu sangat spesial dengan menjadi satu–satunya hari nasional Indonesia yang diperingati berdasarkan nama tokoh pelopornya ketika sebagian lainnya hanya diam membisu dalam kenangan?

Dengan ini, seharusnya banyak masyarakat Indonesia turut menggugat setiap hari peringatan nasional yang dipelopori salah satu tokoh, juga dijadikan hari yang namanya tercatut untuk dikenang. Hari Pendidikan Nasional, seharusnya sama dengan Hari Kartini yang nama sang tokoh tercatut di dalamnya.

Sebab, tidak adil rasanya jika Hari Pendidikan Nasional hanya berlogo sang tokoh, namun namanya tidak tercatut di dalamnya. Hari Pendidikan Nasional semestinya bernama “Hari Ki Hajar Dewantara”. Atau jika dirasa tidak memungkinkan semua hari nasional dinamai sesuai tokohnya, maka seyogyanya, Hari Kartini menjadi Hari Emansipasi Wanita.

Tulisan ini adalah murni dari suara pembaca Kabarnesia, tanpa ada perubahan apapun, kecuali beberapa hal tanpa mengubah konteks pesan. Bagi Anda yang ingin mengutarakan opini di Kabarnesia bisa mengirimkan tulisan minimal 300 dan maksimal 800 kata ke [email protected] beserta foto pribadi penulis.

Baca juga artikel menarik lainnya terkait Opini Kabarnesia atau informasi terkini lain di Kabarnesia.

 

 

Comments

comments

1 KOMENTAR

Comments are closed.