Menyikapi UU Dikti

0
437
uu dikti
Demo Aliansi Mahasiswa Makassar mencabut uu dikti cabut (Foto: Tribun Timur)
obat kuat,libion,libiceng,phuceng,madu stamina,madu phuceng,sehatshop,stamina pria,madu,jahe merah,purwoceng

Kini permasalahan yang dirasakan oleh mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, yakni tentang Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU nomor 12 tahun 2012) serta demokratisasi kampus.

Kabarnesia.com – Banyak masyarakat yang masih belum menyadari bahwa Pendidikan Tinggi (Dikti) di Indonesia, sudah banyak berubah dengan adanya Penyususan Pemerintah dan DPR dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi mendapatkan tugas yang sangat spesifik untuk melaksanakan tri darma, yaitu pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat. Namun secara historis, perguruan tinggi memiliki peran yang lebih mendasar, yaitu peletak nilai dalam kehidupan berbangsa.

Semangat keterbukaan juga pernah dibicarakan oleh Muhammad Nasir atau bahkan sebelumnya, Permendiknas Nomor 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di Perguruan Tinggi menjadi bukti. Itu ditegaskan pada peraturan yang masih berlaku ini, terutama pasal 7 ayat (2), yang menyatakan bahwa pimpinan perguruan tinggi wajib mengungkapkan semua karya ilmiah mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan yang telah dilampiri dari bebas plagiat dan kesanggupan menerima sanksi kapan terbukti plagiat. Melalui peraturan ini pada tahun 2010, karya ilmiah sivitas perguruan tinggi telah menjadi sebagai ranah publik.

Mulai tahun 2015, keterbukaan akademik mulai gencar. Promosi peningkatan jabatan fungsional dan sertifikasi dosen telah dipersyaratkan untuk membuat karya-karya yang dapat diakses secara online. Perkembangan teknologi di Indonesia ini memang terbilang cepat, hal ini memicu keterbukaan dikti. Karena itu, masyarakat harus sangat peduli dengan data yang sudah masuk ke ranah publik.

Muhammad Nasir sebagai menteri mengeluarkan wacana yang berbau kontroversi, seperti meniadakan kewajiban skripsi sebagai syarat kelulusan S1 pada Mei 2015. Hal ini menuai banyak respon negatif dari berbagai kalangan. Namun, ia membantahnya, “Peniadaan skripsi dikembalikan lagi ke masing masing universitas untuk menerapkan kebijakan tersebut,” ujar M Nasir.

“Menerapkan aturan bahwa tugas akhir skripsi untuk mahasiswa setingkat S1 menjadi sebuah pilihan, atau opsional bukan menghapusnya. Skripsi bisa digantikan dengan pembuatan laporan tentang pembelajaran mandiri dalam bentuk karya tulis yang bersifat opsional,” tambahnya.

Menristek dan Dikti, menerbitkan surat edaran, Surat Edaran (SE) Menristekdikti nomor 01/M/SE/V/2015 tertanggal 20 Mei pun lahir, surat edaran ini juga memuat soal penerapan uang kuliah tunggal. Melalui surat tersebut, disebutkan standar nasional pendidikan tinggi (SNPT) telah direvisi. Salah satu aturannya adalah durasi kuliah program sarjana (S1) akan dilonggarkan lagi, menjadi maksimal tujuh tahun.

M. Nasir juga pernah melakukan tindakan tegas terhadap universitas swasta palsu yang ada di Indonesia, yaitu universitas yang tidak menyelenggarakan perkuliahan sesuai standar, kampus sedang nonaktif tetapi tetap bisa melakukan penerimaan, hanya melakukan wisuda atau yang menjual ijasah palsu.

BACA JUGA:

Kontroversi UU Dikti

Saat M. Nasir melakukan inspeksi mendadak ke salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Bekasi, terbukti meluluskan para mahasiswanya, padahal total satuan kredit semester mereka tidak mencukupi untuk lulus. “Ada yang tercatat baru berkuliah 6 SKS, tetapi sudah diperbolehkan untuk ikut wisuda,” ujar Nasir.

Sementara itu di Wilayah Makassar, Universitas Negeri Makassar (UNM) yang tergabung dalam Orange Menggugat Pemuda Simpul Pembebasan melakukan aksi demonstari di fly over, Kota Makassar, Selasa (31/10).

Orange menggugat melalui Presma BEM UNM, Mudabbir mengatakan, “Kini permasalahan yang dirasakan oleh mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, yakni tentang Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU nomor 12 tahun 2012) serta demokratisasi kampus. Implementasi dari UU Dikti ini memiliki dampak yang sangat besar bagi arah pendidikan tinggi yang mengarah kepada komersialisasi dan liberasi yang dipertegas seperti pasal 62, 65, 82 dan 90,” ucapnya.

Adapun dampak yang dirasakan, seperti meningkatnya biaya kuliah setiap tahunnya, penggunaan fasilitas kampus yang mahal, kebebasan berekspresi semakin dikekang bahkan berujung pada pemecatan mahasiswa. Mahasiswa sering mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian karena menyuarakan suara-suara keadilan.

Baca juga artikel menarik lainnya terkait Kabar Pendidikan atau informasi terkini lain di Kabarnesia.

 

Comments

comments