
Oleh
Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, S.H,M.H
Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia
Mudik bermakna kembali ke udik (kampung). Mudik merupakan ritual kuno Nusantara yang ada sejak masa pra-Islam, khususnya masa Kerajaan Mataram Hindu (abad 8M). Mudik saat itu dilakukan oleh penduduk yang tinggal di kisaran ibukota kerajaan pada perayaan agama Hindu-Buddha.
Mereka kembali ke kampungnya untuk menziarahi sekaligus membersihkan makam orang tua dan leluhurnya. Para pendatang dari udik yang hidup di ibukota kerajaan mengadakan perayaan ajaran agamanya di tengah lingkungan keluarganya sebagai bentuk masyarakat magis komunal.
Tradisi ini dilanjutkan pada masa Islam. Para penduduk Muslim perkotaan ditarik kembali ke dalam lingkungan sosio historisnya untuk menyegarkan kembali ingatan masa lalu. Sebuah masa, di mana para pemudik mulai menyusun impian hidupnya.
Begitu kuatnya tarikan kampung halaman dengan romansa sejarah serta religi spiritualnya menjadikan tradisi mudik nyaris menjadi ritual wajib. Begitu banyak manusia rela untuk melakukannya walau dengan biaya dan pengorbanan yang tidak sedikit. Jutaan manusia bergerak dari satu titik ke lain titik pada saat yang nyaris bersamaan menjadikan ritual ini menyibukkan semua pihak hingga negara. Ia bukan sekedar relasi privat.
Mudik juga selalu dilekatkan pada relasi agama sosial dan budaya. Mudik dilakukan oleh umat beragama apapun sebagai bagian ritual keagamaan dan kultural. Ia menunjukkan sebuah karakter komunal nusantara, manusia yang selalu terikat dengan sesamanya.
Para pemudik mengembangkan sebuah pola ritual ibadah dan sosial untuk menyegarkan kembali semangat juang yang dulu pernah menyala. Semangat yang kini mulai tergerus perlahan oleh tuntutan materialisme kota besar. Nilai spiritual dan kemanusiaan yang terhimpit oleh gedung menjulang, kini coba kembali dibangun. Menyadarkan kembali eksistensi nilai kemanusiaan yang dulu pernah melekat untuk tidak terdegradasi lalu menghilang musnah.
BACA JUGA:
Masa lalu adalah sekeping jejak perjalanan anak manusia yang ingin ia hadirkan kembali. Ia menghadirkan ruang lalunya untuk meraih kembali jejek-jejak spiritualnya. Manusia bukan makhluk mekanik yang bekerja untuk memenuhi tuntutan industri semata. Ia adalah mahluk spiritual yang selalu terikat oleh Tuhan dan sesama manusia. Tuhan hadir dalam masa lalunya, kekiniannya, serta esoknya.
Mudik adalah upaya ia membangun kembali relasi spiritual sosial masa lalu, kini, dan esok. Masa lalu penuh romansa idealita yang ia coba hadirkan dalam ruang sadarnya dan mencoba memberi kesegaran baru atas kekeringan spiritual yang melanda.
Ritual mudik menghubungkan beragam arena: ibadah, romansa sejarah, sosial-budaya, ekonomi, dalam sebuah wadah. Wadah yang akan digunakan dalam upaya menyusun kembali jiwa spiritualnya. Kini ia siap kembali ke kota selepas mudik dengan semangat baru. Semangat yang ia coba raih ketika berada di udik.
Mudik dalam optik yang berbeda juga dapat diartikan sebagai bentuk unjuk eksistensi atas capaian-capaian vertikal. Keberhasilan atas sebuah perjuangan ego ditampilkan dalam ritual mudik. Sebuah keberhasilan dan kesuksesan diri ditunjukkan dalam sebuah drama mudik. Ia yang dulu bukanlah siapa-siapa, kini ia adalah seseorang dengan derajat keberhasilan tertentu.
Keberhasilan anak rantau di kota besar, menunjukkan pula keberhasilan sosial kaumnya. Hakikat mudik sebagai upaya membangun jiwa spiritualnya terganti oleh pertarungan ego manusia yang saling menundukkan. Kembali ke udik dengan diiringi keberhasilan adalah sebuah kebanggaan dan prestise. Eksistensi yang menuntut pengakuan lingkungan sosialnya.
Ritual mudik dalam pendekatan fenomenologi bagaikan sebuah kertas kosong dan kita masing-masing menginterpretasi makna dan simbol atas kata “mudik”. Kini kita coba kembali melihat ke dalam; apakah mudik merupakan ajang eksistensi diri serta ego ataukah bentuk dari upaya meraih kembali kesegaran spiritual? Hanya diri kitalah yang mampu menjawabnya.
Selamat mudik.
Tulisan ini adalah murni dari suara pembaca Kabarnesia, tanpa ada perubahan apapun, kecuali beberapa hal tanpa mengubah konteks pesan. Bagi Anda yang ingin mengutarakan opini di Kabarnesia bisa mengirimkan tulisan minimal 300 dan maksimal 800 kata ke [email protected] beserta foto pribadi penulis.
Baca juga artikel menarik lainnya terkait Opini Kabarnesia atau informasi terkini lain di Kabarnesia.