
Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (kurs Rp 14.000) untuk memuluskan proses akuisisi terhadap kepemilikan saham Freeport McMoRan asal Amerika Serikat tersebut.
Kabarnesia.com – Siapa tak kenal Indonesia dengan milyaran kekayaan alamnya? Siapa tak kenal Indonesia dengan sumber daya yang melimpah di dalamnya? Mungkin, yang tak kenal adalah mereka yang tak mau melihat belahan dunia di Asia Tenggara sebagai ‘tambang emas’ dunia.
Seperti halnya tambang emas yang ada di ujung timur Indonesia, Papua. “Jauh sebelum kedatangan para penjelajah dari Eropa, penduduk asli Papua hanya mengambil serba sedikit dari alam,” tulis buku Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas (2008).
Catatan Carsztensz menjadi saksi sejarah, bagaimana kekayaan alam Papua bisa dikatakan sebagai sebuah khayalan bagi semua orang. Carsztensz yang berlayar ke perairan sebelah selatan Tanah Papua pada 1623 melihat tumpukan salju di atas pegunungan yang tinggi.
Kemudian, ia menceritakan hasil dari laporan itu kepada teman-temannya, yang justru malah menjadi bahan tertawaan mereka, karena Carsztensz dianggap berkhayal. Mereka tak yakin di daratan khatulistiwa terdapat salju.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Enam tahun setelah itu, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau gunung bijih, yang kemudian data tersebut dibawa ke Belanda untuk dieksploitasi. Hingga akhirnya, Forbes Wilson seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.
BACA JUGA:
Awal Mula Freeport Diuangkan
Dalam laporan perjalanan Wilson ke Papua yang berjudul “The Conquest of Cooper Mountain (1989)”, Wilson berhasil menganalisis kekayaan alam Papua yang terdapat bijih besi, tembaga, perak, dan emas.
Laporan Wilson itu kemudian dibawa ke Amerika Serikat untuk disampaikan kepada para analis Freeport. Mereka menilai apa yang dibawa Wilson, akan sangat bermanfaat dan menguntungkan mereka, dengan hanya bermodal waktu tiga tahun untuk kembali menutup lubang uang yang mengalir sebagai awalan.
Usaha itu kemudian terbilang gagal di masa pemerintahan Soekarno yang masih sangat antipati terhadap seluruh ’embel-embel’ tawaran kerja sama dari negara Barat dengan menyebutnya sebagai sumber “jajahan gaya baru”. Namun, ketika tambuk kekuasaan Soekarno berakhir dan mulai dipimpin oleh Soeharto, Freeport mulai mendapat angin segar sejak adanya Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
UU itu dibentuk sebagai salah satu strategi pembangkitan ekonomi nasional di rezim Soeharto, yang saat itu masih minim sumber daya manusia dan tenaga untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.
Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija, pemimpin perusahaan Texaco di rezim Soekarno, untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.
BACA JUGA:
- Warga Malaysia Hingga Anggota Parlemen Membantu Melunasi Utang Negara, Indonesia Perlu?
- Utang Luar Negeri Indonesia Tembus 5.000 Triliun
Saham Indonesia dari Freeport
Pada masa awal Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I), Indonesia hanya kebagian untung sebesar 9,36% saham di PT Freeport Indonesia, sedangkan Freeport McMoRan menentukan sahamnya sendiri sebesar 90,64 % saham dalam kerja sama yang ditandatangani pada 1967 berdurasi 30 tahun.
Kemudian, divestasi saham dimulai pada Desember 1991, saat Kontrak Karya II ditandatangani, yang juga berlaku untuk 30 tahun ke depan. Pada Kontrak Karya II ini, di pasal 24 mengatur jelas bahwa penambang mineral tersebut wajib melepas sahamnya ke pemerintah Indonesia selama dua tahap.
Tahap pertama diberikan selama 10 tahun sejak tanda tangan kontrak KK-II dilakukan, sebesar 9,36%. Setelah itu, mulai tahun 2001, Freeport diwajibkan melepas sahamnya sebesar 2% per tahun kepada pemerintah Indonesia, hingga saham nasional Indonesia dari Freeport sebesar 51%.
Divestasi saham tahap pertama terbilang berhasil, setelah perusahaan swasta nasional grup Bakrie, PT Indocooper Investama Corporation membeli 9,36% sahamnya dari Freeport. Namun, setahun kemudian, Freeport kembali membeli saham PT Indocooper Investama Corporation sebesar 49%.
Pada tahun 1997, Bakrie menjual sisa sahamnya kepada PT Nusamba Mineral Industri, perusahaan milik pengusaha Bob Hasan. Lagi lagi, Bob Hasan menjual semua asetnya kepada Freeport Indonesia, sehingga kepemilikan saham Freeport kembali 90,64%.
Pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan PP Nomor 23 tahun 2010 tentang kegiatan pelaksanaan pertambangan minerba, yang mengatur para pemilik sahamnya untuk mendivestasikan sahamnya 20% setahun setelah aturan diterbitkan. Namun, dikutip CNBC Indonesia, Freeport mengajukan nilai divestasi mencapai US$ 1,7 miliar sementara pemerintah menawar lebih dari separuh yakni US$ 630 juta dengan alasan sesuai Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2013.
Pada tahun 2017, pemerintah menyatakan Freeport sepakat divestasi 51% di Agustus 2017. Namun, Freeport dikatakan menolak kesepakatan tersebut.
Hingga akhirnya, pada Kamis (12/7), Joko Widodo mengumumkan dan menandatangani kesepakatan baru dengan Freeport McMoRan untuk menjadikan Indonesia sebagai pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia sebesar 51%.
Dengan penandatanganan itu, proses akuisisi 51% saham yang akan berlangsung selama 60 hari setelah penandatanganan kesepakatan baru itu harus dilakukan. Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (kurs Rp 14.000) untuk memuluskan proses akuisisi terhadap kepemilikan saham Freeport McMoRan asal Amerika Serikat tersebut.
Demi memuluskan proses akuisisi itu, pemerintah bekerjasama dengan 11 bank swasta dan negeri untuk membantu meminjamkan dananya kepada perusahaan BUMN PT Inalum untuk memodali Inalum sebagai pemegang saham 51% PT Freeport Indonesia. Tak hanya itu, Inalum juga mesti membeli 100% saham FCX di PT Indocooper Investama Corporation yang sebelumnya memiliki saham sebesar 9,36% di PT Freeport Indonesia.
Baca juga artikel menarik lainnya terkait Kabar Ekonomi atau informasi terkini lain di Kabarnesia.
[…] Membongkar Keuntungan Indonesia dari Freeport […]
Comments are closed.